Menjadi pendidik bagi
anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus adalah salah satu hal bisa
dikatakan dihindari oleh calon-calon
guru, kecuali mereka yang memang selama kuliah memang memilih jurusan Pendidikan
Luar Biasa (PLB) sebagai jurusan yang mereka pilih. Hal tersebut wajar saja
karena mendidik dan mengajar anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus sangat
berbeda dengan mendidik anak-anak di sekolah reguler pada umumnya. Salah satunya tentu saja soal
kesulitan dalam mendidik siswa-siswi sekolah luar biasa.
Apalagi jika di SLB
tersebut terdapat berbagai jurusan, mulai dari tuna netra (A), tuna rungu (B),
tuna grahita ringan dan sedang (C, C1), tuna daksa (D), tua laras (E), tuna
ganda (G) dan autis. Maka bisa dipastikan dalam sekolah tersebut akan terdapat
banyak sekali tingkat kesulitan yang sangat luar biasa dalam mendidik anak-anak
tersebut, tentu saja dengan berbagai kemampuan mereka yang berbeda-beda satu
dengan yang lainnya dan dengan berbagai kekurangan yang mereka miliki.
Saya sendiri merasakan
betul sebagai seorang lulusan dari jurusan pendidikan agama Islam Fakultas
Tarbiyah UIN Walisongo Semarang yang merasa kesulitan saat mengajar di SLB, apalagi menjadi salah satu pendidik
di SLB bukanlah impian awal saya. Awalnya saya memang berkeinginan menjadi
seorang wartawan, akan tetapi karena dorongan orang tua terutama ibu yang ingin
salah satu anaknya menjadi seorang guru maka akhirnya mau gak mau saya berusaha
mewujudkan keinginan orang tua tersebut. Dan setelah mendaftar ke sana-sini
akhirnya saya diterima sebgai guru PAI di SLB Negeri Ungaran Kabupaten Semarang
Jawa Tengah dengan predikat guru wiyata bakti.
Awal masuk kedunia ini
seakan asing bagi saya , apalagi saya harus menghadapi anak-anak yang
sebelumnya belum pernah sekalipun saya bersosialisasi dengan anak yang memiliki
kebutuhan khusus. Waktu pertama kali masuk setelah diterima, saya bertemu guru
senior yang sudah sekitar 25 tahun mengabdikan hidupnya untuk mengajar
anak-anak berkebutuhan khusus. Saat itu beliau hanya berpesan kunci mengajar
anak SLB hanya satu mas, apa pak tanyaku “Kudu Sabar”. Ya, itulah yang hingga
saat ini aku pegang, bahwa memang benar
mengajar anak berkebutuhan khusus modal utamanya bukanlah kepandaian tetapi kesabaran.
Terus terang saya
pernah berniat keluar dari tanggungjawab menjadi guru PAI ketika baru dua
minggu mengajar, masalahnya adalah saya
sempat stress tidak bisa mengajar terutama mengajar anak-anak jurusan B (tuna
rungu), saya bingung dengan metode apa saya harus mengajar, ceramah tidak
mungkin karena mereka tidak mendengar, dengan bahasa isyarat saya tidak bisa
bahasa isyarat, saya juga tidak pernah
mendapatkan mata kuliah metode pengajaran khusus anak SLB. Bukan itu saja, baru
dua minggu mengajar, saya ketemu peristiwa yang tidak mengenakkan, ada siswa
pipis di kelas, siswa ngobrok (buang
air besar) di kelas, siswa berperilaku aneh-aneh di kelas dan lain sebagainya.
Hal itu membuat saya stress dan ingin
keluar dari pekerjaan tersebut, namun atas nasehat orang tua serta dosen saya
selama kuliah maka profesi tersebut saya lanjutkan hingga sekarang.
Saya juga pernah
mengalami pengalaman yang tidak mengenakkan, pernah saya di lempar dua orang
siswa jurusan tuna laras (E) yaitu anak-anak yang nakal dan anti sosial dengan
sepatu mereka sewatu menulis di depan kelas. Pernah pula saya dikencingi dari
belakang oleh anak tuna laras saat saya barui keluar kelas mau istirahat dan
berbagai pengalaman yang tidak mengenakkan lainnya, akan tetapi hal tersebut
saya anggap sebagai pengalaman berharga dan saya tidak pernah marah karena
memang itulah kondisi mereka, dan saya sebagai pendidik harus tetap sabar dalam
menghadapi anak-anak berkebutuhan khusus tersebut.
Saat ini di samping
harus memiliki tingkat kesabaran yang tinggi, saya menganggap bahwa mendidik
anak-anak berkebutuhan khusus juga harus dijadikan sebagai sarana belajar
karena melalui merekalah saya mendapatkan berbagai pelajaran hidup yang
berharga, misalnya anak-anak berkebutuhan khusus selalu ceria, mereka seakan
tidak memiliki beban hidup meskipun sesungguhnya mereka memiliki kekurangan.
Saya juga belajar bagaimana bersyukur dengan apa yang saya miliki saat ini
karena ternyata saya merupakan salah satu orang yang diberikan kelebihan
dibanding anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus.
Memang perlu kesabaran luarbiasa buat mengajari mereka berbagai hal. Semoga selalu diberi ketetapan hati. :)
BalasHapus