I.
Pendahuluan
Istilah filsafat dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara berlawanan oleh banyak orang. Filsafat dalam cara kerjanya bertolak dari akal, sedangkan agama bertolak dari wahyu. Oleh sebab itu, banyak kaitan dengan berfikir sementara agama banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat mebahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran yang diukur, apakah sesuatu itu logis atau bukan. Agama tidak selalu mengukur kebenaran dari segi logisnya karena agama kadang-kadang tidak terlalu memperhatikan aspek logisnya.
Agama
dan filsafat memainkan peran yang mendasar dan fundamental dalam sejarah dan
kehidupan manusia. Orang-orang yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah
agama dan filsafat niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini sama sekali
tidak membicarakan pertentangan antara keduanya dan juga tidak seorang pun
mengingkari peran sentral keduanya. Sebenarnya yang menjadi tema dan inti
perbedaan pandangan dan terus menyibukkan para pemikir tentangnya sepanjang
abad adalah bentuk hubungan keharmonisan dan kesesuaian dua mainstream disiplin
ini.
Sebagian
pemikir yang berwawasan dangkal berpandangan bahwa antara agama dan filsafat
terdapat perbedaan yang ekstrim, dan lebih jauh, dipandang bahwa
persoalan-persoalan agama agar tidak "ternodai" dan
"tercemari" mesti dipisahkan dari pembahasan dan pengkajian filsafat.
Tetapi, usaha pemisahan ini kelihatannya tidak membuahkan hasil, karena
filsafat berhubungan erat dengan hakikat dan tujuan akhir kehidupan, dengan
filsafat manusia dapat mengartikan dan menghayati nilai-penting kehidupan,
kebahagian, dan kesempurnaan hakiki.
Anselm[1]
dalam risalah filsafatnya yang berjudul "Proslogion" mengungkapkan kalimat
yang menarik berbunyi: Saya
beriman supaya bisa mengetahui. Apabila kalimat ini kita balik akan
menjadi: jika saya tidak
beriman, maka saya tak dapat mengetahui. Tak dapat disangkal bahwa
Anselm meyakini bahwa keimanan agama adalah sumber motivasi dan pemicu yang
kuat untuk mendorong seseorang melakukan penelitian dan pengkajian yang
mendalam terhadap ajaran-ajaran doktrinal agama, lebih jauh, keimanan sebagai
sumber inspirasi lahirnya berbagai ilmu dan pengetahuan. Ini artinya terdapat
hubungan yang tak bisa dipisahkan antara filsafat dan agama.
Selain
itu sebagian pemikir Islam juga memandang bahwa antara agama dan filsafat
terdapat keharmonisan. Sekitar abad ketiga dan keempat hijriah, filsafat di
dunia Islam mengalami perkembangan yang cukup pesat, Abu Yazid Balkhi, salah
seorang filosof dan teolog Islam, mengungkapkan hubungan antara agama dan
filsafat, berkata, "Syariat (baca: agama) adalah filsafat mayor dan
filosof hakiki adalah orang yang mengamalkan ajaran-ajaran syariat[2].
Ia yakin bahwa filsafat merupakan ilmu dan obat yang paling ampuh untuk
menyembuhkan segala penyakit kemanusiaan. Dari sana jelas bahwasanya antara
filsafat terdapat keterkaitan satu dengan yang lain.
II.
Rumusan
Masalah
Rumusan
masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Pengertian
Filsafat
2.
Pengertian
Agama
3.
Hubungan
antara Filsafat dan Agama
III.
Pembahasan
Sebagaimana
dalam rumusan masalah di atas, maka dalam pembahasan ini akan dibahas hal-hal
sebagai berikut:
1.
Pengertian
Filsafat
Salah
satu kebiasaan dunia pene-litian dan keilmuan, berfungsi bahwa penemuan konsep
tentang sesuatu berawal dari pengetahuan tentang satuan-satuan. Setiap satuan
yang ditemukan itu dipilah-pilah, dikelompokkan ber-dasarkan persamaan,
perbedaan, ciri-ciri tertentu dan sebagainya. Berdasarkan penemuan yang
telah diverivi-kasi itulah orang merumuskan definisi tentang sesuatu itu.
Jadi
ada benarnya saat Muhammad Hatta dan Langeveld mengatakan "lebih baik
pengertian filsafat itu tidak dibica-rakan lebih dahulu. Jika orang telah
banyak membaca filsafat ia akan mengerti sendiri apa filsafat itu[3].
Namun demikian definisi filsafat bukan berarti tidak diperlukan. Bagi orang
yang belajar filsafat definisi itu juga diperlu-kan, terutama untuk memahami
pemikiran orang lain.
Penggunaan
kata filsafat pertama sekali adalah Pytagoras sebagai reaksi terhadap para
cendekiawan pada masa itu yang menama-kan dirinya orang bijaksana, orang arif
atau orang yang ahli ilmu pengetahuan. Dalam membantah pendapat orang-orang
tersebut Pytagoras mengatakan pengetahuan yang lengkap tidak akan tercapai oleh
manusia[4].
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia
merupakan kata
serapan dari
bahasa Arab, yang juga diambil dari bahasa Yunani.. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan
kata majemuk dan berasal dari kata-kata (philia: Persahabatan, cinta
dsb.) dan (sophia: kebijaksanaan).
Sehingga arti harafiahnya adalah seorang “pencinta
kebijaksanaan”. Kata
filosofi yang dipungut
dari bahasa Belanda juga dikenal di Indonesia. Bentuk terakhir ini lebih
mirip dengan
aslinya. Dalam bahasa Indonesia seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut
"filsuf".
Semenjak
semula telah terjadi perbedaan pendapat tentang asal kata filsafat. Ahmad
Tafsir umpamanya me-ngatakan filsafat adalah gabungan dari kata philein
dan sophia. Menurut Harun Nasution kedua kata tersebut
setelah digabungkan menjadi philosophia dan diterjemah-kan ke dalam
bahasa Indonesia dengan arti cinta hikmah atau kebijaksanaan. Sedangkan orang
Arab memindahkan kata Yunani philosophia ke dalam bahasa mereka
dan menyesuaikannya dengan su-sunan kata bahasa Arab, yaitu falsafa dengan
pola fa`lala. Dengan demikian kata benda dari falsafa itu adalah falsafah
atau filsaf[5].
Dalam
al-Quran kata filsafat tidak ada, yang ada hanya adalah kata
hikmah. Pada umumnya orang mema-hami antara hikmah dan kebijaksanaan itu
sama, pada hal sesungguhnya maksudnya berbeda. Harun Hadiwijono mengartikan
kata philosophia dengan mencintai kebijaksa-naan[6],
sedangkan Harun Nasution mengartikan dengan hikmah[7].
Kebijaksanaan biasanya diartikan dengan peng-ambilan keputusan berdasarkan
suatu pertimbangan terten-tu yang kadang-kadang berbeda dengan peraturan yang
telah ditentukan. Adapun hikmah sebenarnya diungkapkan pada sesuatu yang agung
atau suatu peristiwa yang dahsyat atau berat. Namun dalam konteks filsafat kata
philosophia itu merupakan terjemahan dari love of wisdom.
Dari
pengertian kebahasaan itu dapat dipahami bahwa filsafat berarti cinta kepada
kebijaksanaan. Tetapi pengertian itu belum memberikan pemahaman yang cukup,
karena maksudnya belum dipahami dengan baik. Pemahaman yang mendasar tentang
filsafat diperoleh melalui pengertian. Karena berbagai pandangan dalam melihat
sesuatu menyebabkan pandangan pemikir tentang filsafat juga berbeda. Oleh
sebab itu, banyak orang mem-berikan pengertian yang berbeda pula tentang
filsafat.
Diantara
tokoh yang memberikan definisi tentang filsafat diantaranya adalah: Immanuel
Kant (1724-1804 M) salah seorang filosof Jerman mengatakan filsafat adalah
pengetahuan yang men-jadi pokok pangkal pengetahuan yang tercakup di dalam-nya
empat persoalan : yaitu Apa yang dapat diketahui, Jawabnya : Metafisika. Apa
yang seharusnya diketahui ? Jawabnya : etika. Sampai di mana harapan kita ?
Jawabnya :Agama. Apa manusia itu? Jawabnya Antropologi[8]
Jujun
S Suriasumantri mengatakan bahwa filsafat menelaah segala persoalan yang
mungkin dapat dipikirkan manusia. Sesuai dengan fungsinya sebagai pionir,
filsafat mempermasalahkan hal-hal pokok, terjawab suatu per-soalan, filsafat
mulai merambah pertanyaan lain.[9]
Sedangkan Ir. Poedjawijatna mengatakan filsafat adalah ilmu yang berusaha
mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran
belaka[10].
Kattsoff
mengemukakan bahwa filsafat, ialah ilmu pengetahuan yang dengan cahaya
kodrati akal budi mencari sebab-sebab yang pertama atau azas-azas yang
tertinggi segala sesuatu. Filsafat dengan kata lain merupakan ilmu pengetahuan
tentang hal-hal pada sebab-sebabnya yang pertama termasuk dalam ketertiban
alam. Selain itu filsafat merupakan ukuran pertama tentang nilai filsafat itu
dan berakhir dengan kesimpulan yang jika dihubungkan kembali dengan pengalaman
hidup sehari-hari, serta peristiwa-peristiwanya menjadikan pengalaman-pengalam-an
serta peristiwa itu lebih bermakna yang menyebabkan kita lebih berhasil
menanganinya[11].
Itulah
di antara definisi yang dikemukakan oleh filosof. Perbedaan itu definisi itu
menimbulkan kesan bahwa perbedaan itu disebabkan oleh berbagai faktor, seperti
latar belakang sosial, politik, ekonomi dan seba-gainya. Jika disadari,
perbedaan pendapat itu adalah wajar karena perkembangan ilmu pengetahuan
menimbulkan berbagai spesialisasi ilmu yang sesungguhnya terpecah dari filsafat
pada umumnya dan selanjutnya muncullah filsafat khsus, seperti filsafat
politik, filsafat akhlak, filsafat agama dan sebagainya.
Dengan
demikian diketahui betapa luasnya lapangan filsafat. Tetapi walaupun telah
terjadi berbagai pemikiran dalam filsafat yang berbentuk umum menjadi berbagai
bidang filsafat tertentu, ternyata ciri khas filsafat itu tidak hilang, yaitu
pembahasan bersikap radikal, sistematis, universal dan bebas. Dengan demikian
dalam pembahasan ini semua prinsip itu memang diperlukan dalam mengkaji
berbagai hal tentang agama sehingga hasil itu disebut filsafat
agama.
2.
Pengertian
Agama
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem atau
prinsip
kepercayaan kepada Tuhan, atau juga disebut dengan nama Dewa atau
nama lainnya
dengan ajaran kebhaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan
tersebut.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sansekerta āgama yang berarti
"tradisi".
Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang
berasal dari
bahasa Latin religio dan berakar pada kata
kerja religare yang berarti "mengikat
kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Definisi
lain menyebutkan bahwa kata “agama” berasal dari bahasa Sanskrit “a”
yang berarti tidak dan “gama” yang berarti pergi, tetap di tempat,
diwarisi turun temurun dalam kehidupan manusia[12]. Dalam hal ini ternyata agama memang
mempunyai sifat seperti itu. Agama, selain bagi orang-orang tertentu, selalu
menjadi pola hidup manusia. Dick Hartoko menyebut agama itu dengan religi,
yaitu ilmu yang meneliti hubungan antara manusia dengan “Yang Kudus” dan
hubungan itu direalisasikan dalam ibadat-ibadat.
Kata
religi berasal dari bahasa Latin rele-gere yang berarti
mengumpulkan, membaca. Agama me-mang merupakan kumpulan cara-cara mengabdi
kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca.
Di sisi lain kata religi berasal dari religare yang berarti mengikat.
Ajaran-ajaan agama memang mem-punyai sifat mengikat bagi manusia[13].
Seorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan aturan-aturan yang
ditetapkan oleh agama.
Selain
itu dalam al-Quran terdapat kata din yang menunjukkan
pengertian agama. Kata din dengan akar katanya dal, ya dan
nun diungkapkan dalam dua bentuk yaitu din dan dain.
Al-Quran menyebut kata din ada me-nunjukkan arti agama dan ada
menunjukkan hari kiamat, sedangkan kata dain diartikan dengan utang.
Dalam tiga makna tersebut terdapat dua sisi yang berlainan dalam tingkatan,
martabat atau kedudukan. Yang pertama mempunyai kedudukan, lebih tinggi,
ditakuti dan disegani oleh yang kedua. Dalam agama, Tuhan adalah pihak pertama
yang mempunyai kekuasaan, kekuatan yang lebih tinggi, ditakuti, juga diharapkan
untuk memberikan bantuan dan bagi manusia.
Semua
ungkapan di atas menunjuk kepada pengerti-an agama secara etimologi.
Namun banyak pula di antara pemikir yang mencoba memberikan definisi
agama. Dengan demikian agama juga diberi definisi oleh berbagai pemikir dalam
bentuk yang berbagai macam. Dengan kata lain agama itu mempunyai berbagai
pengertian. Dengan istilah yang sangat umum ada orang yang mengatakan
bahwa agama adalah peraturan tentang cara hidup di dunia ini[14].
Sidi
Gazalba memberikan definisi bahwa agama ialah kepercayaan kepada Yang Kudus,
menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritus, kultus dan
permohonan dan membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu[15].
Karena dalam definisi yang dikemukakan di atas terlihat kepercayaan yang
diungkapkan dalam agama itu masih bersifat umum, Gazalba mengemukakan definisi
agama Islam, yaitu: kepercayaan kepada Allah yang direalisasikan dalam bentuk
peribadatan, sehingga membentuk taqwa berdasarkan al-Quran dan Sunnah[16].
Muhammad
Abdul Qadir Ahmad mengatakan agama yang diambil dari pengertian din al-haq
ialah sistem hidup yang diterima dan diridhai Allah ialah sistem yang hanya
diciptakan Allah sendiri dan atas dasar itu manusia tunduk dan patuh
kepada-Nya. Sistem hidup itu mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk
akidah, akhlak, ibadah dan amal perbuatan yang disyari`atkan Allah untuk
manusia[17].
Sehingga
jika dilihat dengan seksama istilah-istilah itu ber-muara kepada satu fokus
yang disebut ikatan. Dalam agama terkandung ikatan-ikatan yang harus dipatuhi
dan dilaksanakan oleh setiap manusia, dan ikatan itu mem-punyai pengaruh yang
besar dalam kehidupan sehari-hari. Ikatan itu bukan muncul dari sesuatu yang
umum, tetapi berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia. Setelah
diketahui pengertian masing-masing dari agama dan filsafat, perlu diketahui apa
sebenarnya hubungan filsafat dan agama. Sehingga Harun Nasution mengemukakan adanya
filsafat agama yang memiliki pengertian berfikir tentang dasar-dasar agama
menurut logika yang bebas.
3.
Hubungan
Filsafat dan Agama
Dari
uraian di atas dapat diketahui bahwa filsafat dan agama adalah dua pokok
persoalan yang berbeda, namun memiliki hubungan. Agama banyak berbicara tentang
hubungan antara manusia dengan Yang Maha Kuasa, sedangkan filsafat seperti yang
dikemukakan di atas bertujuan menemukan kebenaran. Jika kebenaran yang
sebenarnya itu mem-punyai ciri sistematis, jadilah ia kebenaran filsafat.
Jika
agama membincangkan tentang eksistensi-eksistensi di alam dan tujuan akhir
perjalanan segala maujud, lantas bagaimana mungkin agama bertentangan dengan
filsafat. Bahkan agama dapat menyodorkan asumsi-asumsi penting sebagai subyek
penelitian dan pengkajian filsafat. Pertimbangan-pertimbangan filsafat
berkaitan dengan keyakinan-keyakinan dan tradisi-tradisi agama hanya akan
sesuai dan sejalan apabila seorang penganut agama senantiasa menuntut dirinya
untuk berusaha memahami dan menghayati secara rasional seluruh ajaran, doktrin,
keimanan dan kepercayaan agamanya.
Dengan
demikian, filsafat tidak lagi dipandang sebagai musuh agama dan salah satu
faktor perusak keimanan, bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat
untuk meluaskan pengetahuan dan makrifat tentang makna terdalam dan
rahasia-rahasia doktrin suci agama, dengan ini niscaya menambah kualitas pengahayatan
dan apresiasi kita terhadap kebenaran ajaran agama.
Isi
filsafat itu ditentukan oleh objek apa yang dipikir-kan. Karena filsafat
mempunyai pengertian yang berbeda sesuai dengan pandangan orang yang
meninjaunya, akan besar kemungkinan objek dan lapangan pembicaraan fil-safat
itu akan berbeda pula. Objek yang dipikirkan filosof adalah segala yang ada dan
yang mungkin ada, baik ada dalam kenyataan, maupun yang ada dalam fikiran dan
bisa pula yang ada itu dalam kemungkinan[18].
Sehingga dalam hal ini hubungan filsafat dengan agama adalah agama sebagai
objek kajian filsafat.
Agama
adalah salah satu materi yang menjadi sasaran pembahasan filsafat. Dengan
demikian, agama menjadi objek materia filsafat. Ilmu pengeta-huan juga
mempunyai objek materia yaitu materi yang empiris, tetapi objek materia
filsafat adalah bagian yang abstraknya. Dalam agama terdapat dua aspek yang
berbeda yaitu aspek pisik dan aspek metefisik. Aspek metafisik adalah hal-hal yang
berkaitan dengan yang gaib, seperti Tuhan, sifat-sifat-Nya, dan hubungan
manusia dengan-Nya, sedangkan aspek pisik adalah manusia sebagai pribadi,
maupun sebagai anggota masyarakat.
Kedua
aspek ini (pisik dan metafisik) menjadi objek materia filsafat. Namun demikian
objek filsafat agama banyak ditujukan kepada aspek metafisik daripada aspek fisik.
Aspek fisik itu sebenarnya sudah menjadi pembahasan ilmu seperti ilmu
sosiologi, psikologi, ilmu biologi dan sebagainya. Ilmu dalam hal ini sudah
memi-sahkan diri dari filsafat. Dengan demikian, agama ternyata termasuk
objek materia filsafat yang tidak dapat diteliti oleh sain. Objek materia
filsafat jelas lebih luas dari objek materi sain[19].
Perbedaan itu sebenarnya disebabkan oleh sifat penyelidikan. Penyelidikan
filsafat yang dimaksud di sini adalah penyelidikan yang mendalam, atau
keingintahuan filsafat adalah bagian yang terdalam. Yang menjadi penyelidikan
filsafat agama adalah aspek yang terdalam dari agama itu sendiri.
Sedangkan
para tokoh Islam juga berpendapat adanya hubungan antara filsafat dan agama. Abu
Hayyan Tauhidi, dalam kitab al-Imtâ'
wa al-Muânasah, berkata, "Filsafat dan syariat (agama)
senantiasa bersama, sebagaimana syariat dan filsafat terus sejalan, sesuai,
dan harmonis"[20].
Abul Hasan 'Amiri, dalam pasal kelima kitab
al-Amad 'ala al-Abad, juga menyatakan, "Akal mempunyai
kapabilitas mengatur segala sesuatu yang berada dalam cakupannya, tetapi perlu
diperhatikan bahwa kemampuan akal ini tidak lain adalah pemberian dan kodrat
Tuhan. Sebagaimana hukum alam meliputi dan mengatur alam ini, akal juga
mencakup alam jiwa dan berwenang mengarahkannya. Tuhan merupakan sumber kebenaran
yang meliputi secara kodrat segala sesuatu.
Cakupan
kodrat adalah satu cakupan dimana Tuhan memberikan kepada suatu makhluk apa-apa
yang layak untuknya. Dengan ini, dapat kesimpulan bahwa alam natural secara
esensial berada dalam ruang lingkup hukum materi dan hukum materi juga secara
substansial mengikuti jiwa, dan jiwa berada di bawah urusan akal yang membawa
pesan-pesan Tuhan[21].
Hal itu menunjukkan jika filsafat dan agama terdapat hubungan yang saling
terkait satu dengan yang lainnya.
Tidaklah
terlalu asing orang mengatakan bahwa pembahasan filsafat terhadap agama tidak
menambah keyakinan atau tidak meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan. Ini bisa
berarti bahwa pembahasan agama secara filosofis tidak perlu dan usaha itu
adalah sia-sia. Tetapi perlu diingat bahwa pembahasan agama dengan kacamata
filsafat bertujuan untuk menggali kebenaran ajaran-ajaran agama tertentu atau
paling tidak untuk mengemukakan bahwa hal-hal yang diajarkan dalam agama tidak
bertentangan dengan prinsip-prinsip logika[22].
Sehingga dari sanalah diketahui bahwa terdapat hubungan erat antara filsafat
dan agama.
IV.
Kesimpulan
1.
Kesimpulan
Dari
penjelasan uraian di atas tentang filsafat dan agama, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
a.
Pengertian
filsafat sebagaimana mengutip yang disampaikan Ir. Poedjawijatna mengatakan bahwa
filsafat adalah ilmu yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi
segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka. Artinya filsafat merupakan proses
pencarian kebenaran yang dilandaskan pada kemampuan akal.
b.
Pengertian
agama sebagai yang jelaskan oleh Sidi Gazalba bahwa agama ialah kepercayaan
kepada Yang Kudus, menyatakan diri berhubungan dengan Dia dalam bentuk ritus,
kultus dan permohonan dan membentuk sikap hidup berdasarkan doktrin tertentu.
c.
Hubungan
filsafat dengan agama adalah saling terkait. Kaitan antara filsafat dan agama
adalah agama merupakan salah satu objek kajian filsafat dalam rangka memperoleh
kebenaran yang bersumber dari akal (logika).
2.
Penutup
Demikian
makalah ini disusun, tentu masih banyak kekurangannya. Untuk itu kritik dan
saran senantiasa penulis harapkan demi perbaikan penyusunan makalah-makalah
yang lain di masa mendatang. Semoga makalah ini dapat mendatangkan manfaat bagi
semua, khususnya pagi penulis. Amien.
DAFTAR PUSTAKA
Abu
Hayyan Tauhidi, al-Imta' wa
al-Muânasah, jilid pertama, bagian kedua.
Abul
Hasan 'Amiri, al-Amad 'ala
al-Abad.
Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati
sejak Thales sampai James, Bandung : Rosdakarya, 1994.
H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan
Logika, Jakarta : Rajawali Press, 1986.
Harun Hadiwijono, Sari-Seri Sejarah
Filsafat Barat I, Yogyakarta: Kanisius, 1991.
Harun Nasution, Filsafat Agama,
Jakarta: Bulan Bintang, 1983.
------------------, Islam Ditinjau
dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979,
cet. ke-1.
Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu,
Sebuah Pengantar Populer, Jakarta : Sinar Harapan, 1995.
Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat,
terjemahan dari Element of Philosophy, oleh Soejono Soemargono,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1992.
Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi
Pengajaran Agama Islam, terjemahan dari Turuq al-Ta`lim al-Tarbiyah
al-Islamiyyah, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam,
1984-1985.
Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat dan
Islam tentang Manusia dan Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1978.
[1] St. Anselm (1033 - 1109 M) adalah seorang teolog dan filosof abad
pertengahan, ia berkebangsaan Italia dan kemudian tersohor setelah ia
merumuskan argumen Ontologi tentang pembuktian eksistensi Tuhan.
[2] Abul Qasim Baihaqi, Durratul Akhbâr wa Lum'atul Anwâr, hlm.
28.
[3] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati sejak Thales sampai
James, Bandung : Rosdakarya, 1994, hlm. 8.
[4] H.A. Dardiri, Humaniora, Filsafat dan Logika, Jakarta :
Rajawali Press, 1986, hlm. 9
[5] Ibid.
[6] Harun Hadiwijono, Sari-Seri Sejarah Filsafat Barat I,
Yogyakarta: Kanisius, 1991, hlm. 7.
[7] Harun Nasution, Filsafat Agama, Jakarta:Bulan Bintang, 1983,
hlm. 9.
[8] Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 9.
[9] Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer,
Jakarta : Sinar Harapan, 1995, hlm. 25.
[10] Ibid.
[11] Kattsoff, Louis O, Pengantar Filsafat, terjemahan dari Element
of Philosophy, oleh Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana,
1992, hlm. 67.
[12] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1979, cet. ke-1, hlm.
9.
[13] Ibid, hlm. 10.
[14] Ahmad Tafsir, Op.cit, hlm. 7.
[15] Sidi Gazalba, Ilmu Filsafat dan Islam tentang Manusia dan
Agama, Jakarta : Bulan Bintang, 1978, hlm. 103
[16] Ibid, hlm. 101
[17] Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam,
terjemahan dari Turuq al-Ta`lim al-Tarbiyah al-Islamiyyah, Direktorat
Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1984-1985, hlm. 8.
[18] Dardiri, op. cit.,
hlm. 13
[19] Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 19.
[20] Abu Hayyan Tauhidi, al-Imta' wa al-Muânasah, jilid
pertama, bagian kedua, hlm. 15
[21] Abul Hasan 'Amiri, al-Amad 'ala al-Abad, hlm 87.
[22] Harun Nasution, Op.cit, hlm. 10
Posting Komentar
Posting Komentar